Melihat Kesiapan Industri Komponen PLTS, ESDM: Perlu Tingkatkan Riset
Kebutuhan komponen pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS, diprediksi akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini seiring dengan upaya pemerintah dalam mengejar target bauran energi bersih sebesar 23% di 2025, salah satunya melalui energi baru terbarukan (EBT).
Namun guna memenuhi hal tersebut, produksi komponen untuk modul surya membutuhkan kesiapan industri di dalam negeri. Oleh sebab itu, Kementerian ESDM mendorong adanya keterlibatan stakeholder untuk meningkatkan riset komponen untuk pembangkit surya.
“Dalam rangka meningkatkan kemampuan industri dalam negeri,” ujar Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya kepada Katadata.co.id, Senin (19/7).
Dia mencontohkan, terbitnya Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penerapan Standar Kualitas Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin merupakan hasil dari riset mengenai kualitas modul surya yang sesuai standar internasional.
Meski begitu, menurutnya masih banyak hal-hal yang perlu ditingkatkan dalam riset pengembangan modul energi surya. “Supaya Indonesia bisa mengikuti perkembangan teknologi dunia, juga riset bagi komponen lainnya dalam pengembangan energi surya,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan penyusunan rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau RUU EBT yang saat ini masih dalam penggodokan, sejalan dengan target yang telah dicanangkan berdasarkan perjanjian Paris.
“UU EBT yang tengah dirampungkan memuat target tersebut, bahkan DPR juga menegaskan untuk mencapai target tersebut menekankan perlunya TKDN sehingga industri dalam negeri bisa hidup,” ujar dia.
Adapun insentif untuk mendorong produksi komponen pembangkit EBT di dalam negeri nantinya akan dituangkan dalam peraturan pemerintah. Bahkan dalam keputusan Menteri yang merupakan aturan turunan dari UU EBT.
Menurut Eddy, saat ini RUU EBT telah dikirim ke Badan Legislasi untuk proses harmonisasi. Setelah itu akan dibawa ke Paripurna untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR guna dibahas dengan perintah. “Mudah-mudahan bulan September/Oktober bisa selesai,” ujarnya.
Seperti diketahui, sektor EBT, khususnya PLTS, masih sulit memenuhi tingkat komponen dalam negeri yang ditetapkan pemerintah sebesar 60%.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa mengatakan, hal tersebut lantaran produksi komponen untuk modul surya terkendala pada ukuran dan kepastian pasar.
Pasalnya pertumbuhan PLTS di dalam negeri sangat rendah, hanya 50-60 megawatt (MW) per tahun. Hal itu dapat terlihat dari produksi modul surya Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) yang kurang dari 10% dari kapasitas produksi.
Padahal, untuk membangun industri komponen modul surya, minimal permintaan perlu PLTS sebesar 500 MW per tahun. “Jadi untuk bisa membangun industri modul surya dalam negeri, pemerintah perlu menciptakan permintaan PLTS sebesar itu melalui berbagai instrumen kebijakan dan program,” ujarnya.
Menurut Fabby jika investor melihat ada political will dalam bentuk kebijakan yang ambisius, regulasi yang ramah terhadap PLTS, dan ada konsistensi, maka investor akan memutuskan untuk membangun fasilitas produksi komponen modul surya, dan balance of system (BOS) PLTS. Seperti inverter, controller, dan sebagainya.
Ia pun optimis permintaan PLTS di Indonesia, baik PLTS atap maupun PLTS ground mounted oleh PLN dan swasta, serta proyek floating photo voltaic (FPV) dalam lima tahun ke depan akan sangat baik.
“Minimal 500 MW dapat tercapai dalam dua atau tiga tahun dan dapat naik menjadi 1 gigawatt (GW) per tahun. Setelah 2025 bisa lebih besar lagi,” ujarnya.