Industri Listrik Surya Bisa jadi Solusi Pemulihan Pasca Pandemi
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) melemahkan hampir seluruh sektor ekonomi dan industri termasuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, target penambahan kapasitas PLTS hingga 2024 harusnya 804,9 megawatt. Menurut PLN saat ini sistem Jawa Bali mengalami penurunan permintaan listrik 9,5% dari periode sama tahun lalu.
Hariyanto, Direktur Konservasi Energi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM, mengatakan, dampak permintaan listrik turun, pembatasan mobilisasi dan logistik menyebabkan produksi listrik terganggu, proses konstruksi dan waktu operasional pembangkit terhambat.
“Ada penundaan pencairan dana dari perbankan karena kekhawatiran perbankan akan keberlanjutan proyek,” katanya.
Pemerintah, katanya, berupaya menanggulangi dampak Corona di sub sektor energi terbarukan dengan stimulus pendanaan berupa penangguhan angsuran pinjaman untuk proyek aneka energi terbarukan, penurunan suku bunga pinjaman, penyesuaian mekanisme pengadaan seperti relaksasi waktu operasional dan peniadaan denda finansial.
Juga ada insentif pajak berupa penangguhan dan penghapusan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan bagi pengembang aneka energi terbarukan.
“Juga percepatan proyek energi terbarukan yang bersifat desentralisasi dan padat karya di daerah termasuk surya atap di kantor instansi pemerintah, industri perikanan dan PLTMh dan PLTS offgrid,” katanya.
Bagian pemulihan
Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), pemerintah bisa jadikan PLTS strategi pemulihan hijau atau ramah lingkungan (green recovery) setelah pandemi berlalu.
Kalau merujuk perkembangan tahun lalu, katanya, industri PLTS menunjukkan tren positif. Akhir 2019, total kapasitas terpasang 152 megawatt. Ada dua PLTS mulai beroperasi tahun lalu, yakni PLTS 3×7 megawatt di Lombok dan 1×21 megawatt di Likupang, Sulawesi Utara.
Juga ada hasil tender PLN untuk proyek PLTS Bali Barat dan Bali Timur, 2×25 megawatt juga mendapatkan harga di bawah US$0,059 sen per kWh.
“Keekonomian PLTS skala besar bertambah kompetitif. Harga listrik turun lebih dari 40% dari proyek sebelumnya,” kata Fabby.
Tahun lalu, minat pemasang PLTS atap (on-grid) mulai tumbuh. Ada 1.580 pemasangan PLTS atap hingga Desember 2019. Minat pemasangan meningkat pada pelanggan rumah tangga, bisnis dan komersial, terutama setelah revisi Permen ESDM No 49/2018.
Meskipun begitu, katanya, penyambungan PLTS atap skala rumahan masih terkendala penyediaan meter-exim. Pelanggan masih diminta menunggu dua hingga empat bulan untuk mendapatkan meteran.
“Kebutuhan akan informasi mengenai prosedur penyambungan dan biaya, serta provider yang terpercaya jadi faktor penentu keputusan pemasangan.”
Awal 2020, sebelum Corona melanda Indonesia, prospek PLTS juga cukup positif. Selain prospek PLTS atap di area komersial dan industri lebih 200 megawatt, potensi PLTS atap skala rumahan juga makin meluas ke Jabodetabek, Banten, Bali, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“PLTS atap juga mulai terintegrasi di proyek-proyek real estate menengah ke atas,” kata Fabby.
Proyek PLTS atap milik BUMN di bawah KESDM ada di 800 titik dengan anggaran Rp175 miliar. Belum lagi kontrak PLN dan Masdar untuk proyek PLTS apung di Cirata 145 megawatt dengan harga kurang dari US$o,o58 sen per kWh.
Ada juga lelang empat proyek PLTS untuk 2020 dengan kapasitas 120 megawatt. Sayangnya, wabah COVID-19 menurunkan permintaan energi dan komoditas energi. Harga minyak melemah dan harga energi primer lainnya juga turun di pasar global.
“COVID-19 menurunkan permintaan PLTS rumah tangga dan commercial and industry,” katanya.
Survei awal IESR terhadap sejumlah perusahaan menunjukkan PLTS atap skala rumah tangga pada Maret-April mengalami kontraksi bervariasi 50-100% karena ada kenaikan harga unit dampak penurunan nilai tukar rupiah ke dolar Amerika, sekitar 15-20%. Kondisi ini, katanya,menyebabkan peluang penundaan proyek yang sudah siap order.
Proyeksi enam bulan ke depan tak akan ada permintaan baru untuk PLTS atap karena pemilik industri memilih menahan investasi. Keuangan perusahaan juga terganggu.
“Kenaikan nilai tukar rupiah menyebabkan kenaikan capex (capital expenditure-red—untuk modal dalam rupiah). Perhitungan keekonomian berubah dan waktu pengembalian investasi naik 1-2 tahun dari perhitungan awal,” katanya.
Konstruksi proyek, katanya, juga terkendala pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tertunda dan mundur dari rencana.
“Supply chain dan logistik di Tiongkok terganggu. Impor material dan bahan terkendala.”
COVID-19 juga menunda pelaksanaan proyek PLTS PLN. Penundaan implementasi atau konstruksi proyek PLTS Bali Barat dan Timur bisa mencapai tiga hingga enam bulan dari jadwal semula. Pelaksanaan lelang proyek-proyek PLTS baru juga tertunda, tiga hingga empat bulan.
Pandemi, menurut IESR, juga berpotensi menghancurkan industri photovoltaic domestik. Dari survei IESR, sebagian besar produsen modul photovoltaic lokal yang jadi anggota Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), menurunkan atau menghentikan produksi sama sekali.
“Impor bahan baku seperti solar cell, EVA, silicone, junction box dan glass, terkendala.”
Sejumlah produsen modul lokal, terutama yang mengandalkan pasar domestik yakni proyek pemerintah, berpotensi collapse dalam enam bulan ke depan kalau tak ada order.
Dengan kata lain, katanya, masa depan photovoltaic domestik terancam, mulai dari modal, tenaga kerja, dan daya saing produk.
Untuk itu, usul Fabby, pemerintah perlu intervensi dan jadikan pengembangan PLTS sebagai strategi green recovery pasca-COVID-19.
Hal ini, katanya, bisa dengan mendorong permintaan PLTS atap atau domestik melalui proyek pemerintah dengan mengeksekusi rencana pengadaan PLTS dari sumber APBN dan APBD pada kuartal kedua 2020 dan 2021.
“Eksekusi target RUEN yang 30% atap bangunan pemerintah dengan PLTS, dengan bulk procurement (pembelian skala besar dengan harga rendah-red), dan realokasi subsidi listrik untuk rumah tangga miskin untuk instalasi PLTS atap on-grid, sekitar 1,5-2 kWp per rumah tangga,” katanya.
Pemerintah, katanya, juga perlu memberikan dukungan pembiayaan bagi pemasangan PLTS atap rumah tangga dan bangunan komersial serta industri, misal dengan pinjaman lunak, potongan harga lewat dana APBN bekerjasama dengan bank.
Fabby bilang, perlu dukungan modal usaha dan pembiayaan industri photovoltaic domestik dan jaminan pembelian produk untuk program pemerintah. “Serta relaksasi mekanisme pengadaan, jika dimungkinkan.”
IESR juga mengusulkan, pemerintah menggunakan kartu pra-kerja untuk green recovery melalui program #SuryaNusantara.
Dalam program ini diusulkan menginstal satu gigawatt peak PLTS atap per tahun di rumah tangga miskin atau pelanggan PLN 450 dan 900 VA. Ini bisa dilakukan pada 500.000 rumah dengan masing-masing dua kWp. Biaya program ini, katanya, berkisar antara Rp13-Rp15 triliun melalui pengadaan yang kompetitif.
Menurut Fabby, kalau program ini jalan, akan menyerap tenaga kerja langsung sekitar 20.000 orang selama setahun. Tenaga kerja tak langsung diperkirakan sampai 10.000 orang.
“Fasilitas kartu pra-pekerja bisa dipakai untuk melatih teknisi lapangan, personel administrasi dan staf pendukung. Dengan proses rekrutmen dan seleksi sekitar satu bulan dan training selama dua bulan.”
Pemerintah, katanya, dapat bekerja sama dengan BUMN dan perusahaan untuk pelatihan dan rekrutmen mulai kuartal kedua 2020.
Perencanaan program oleh KESDM bekerja sama dengan pemerintah daerah mulai kuartal II 2020 dengan anggaran Juni atau Juli serta masuk dalam nota keuangan.
“Eksekusi intalasi bisa bertahap mulai kuartal II hingga 2021,” katanya.